Emotional Quotient, Adversity Quotient, Grit




Emotional intelligence / Emotional Quotient (EQ) 

       Ada dua pendekatan utama untuk menjelaskan EI, yaitu  “the ability to engage in sophisticated information processing about one’s own and others’ emotions and the ability to use this information as a guide to thinking and behavior. That is, individuals high in EI pay attention to, use, understand, and manage emotions, and these skills serve adaptive functions that potentially benefit themselves and others. (Mayer, Salovey, & Caruso, 2008, p. 503)”
Yaitu kemampuan untuk terlibat dalam pemrosesan informasi tentang emosi seseorang dan orang lain dan kemampuan untuk menggunakan informasi ini sebagai panduan untuk berpikir dan berprilaku. Artinya individu yang memiliki EL tinggi akan memperhatikan, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi, dan keterampilan ini melayani fungsi adaptif yang berpotensi menguntungkan diri mereka sendiri dan orang lain. (Mayer, Salovey, & Caruso, 2008, p. 503)
Model kedua untuk mendefinisikan EL adalah mixed model
This approach defines EI in terms 204 Personnel Psychology of traits such as assertiveness, optimism, impulsiveness, and so forth. Bar-On (1997), for example, defined EI as “an array of noncognitive capabilities, competencies, and skills that influence one’s ability to succeed in coping with environmental demands and pressures” (p. 14).


Adversity Quotient (AQ)
Didefinisikan oleh Stoltz (1997) yang dimana AQ adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan dan frustasi. AQ adalah salah satu konsep penting dalam pengelolaan sumber daya manusia (karyawan), dimana jika karyawan memiliki AQ yang tinggi maka karyawan tersebut dapat menyelesaikan masalah masalah internal maupun eksternal pada dirinya dengan baik, dengan begitu akan terhindar dari perasaan frustasi karena tekanan dari masalah yang ia hadapi. Sejalan dengan hasil penelitian dari Stoltz (2000) yang menyatakan bahwa dengan karyawan dengan nilai AQ yang tinggi lebih berhasil dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka


 Grit  
     Menurut Duckworth, Peterson, Matthews & Kelly (2007) mereka mendefinisikan grit sebagai “perseverance and passion for long-term goals”. Definisi lain juga dinyatakan oleh Duckworth, Peterson, Matthews & Kelly (2007) “More recently, the personality trait of grit, defined as the tendency to pursue long-term goals with sustained zeal and hard work, has been shown to predict achievement in academic, vocational, and avocational domains”.  Jadi dari pengertian diatas dapat kita pahami bahwa grit adalah usaha dari individu untuk kegigihan dalam mengejar tujuan jangka panjang dengan semangat dan kerja keras yang berkelanjutan.


Dari penjelasana diatas mengenai EQ, AQ, dan Grit dapat kita pahami bahwa ketiga aspek tersebut merupakan kemampuan yang ada didalam diri individu (karyawan) dimana jika individu memiliki EQ, AQ, dan Grit yang tinggi maka akan lebih baik dan berhasil didalam dunia pekerjaan dan kehidupannya. Karena jika individu yang memiliki kegigihan dalam mencapai tujuan jangka panjang, ditambah lagi individu tersebut dapat mengendalikan emosi dan perilaku dengan baik, kemudian ditambah dengan kemampuan individu untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang positif dan tentunya hasil dari penyelesain yang positif juga. dengan begitu akan tercipta individu (karyawan) yang memiliki kondisi seperti Psycap ( Psychology Capital ) yaitu kondisi perkembangan positif seseorang ( Luthans, 2007 ). 












Schmitt, neal . w., Highouse, scott. (2013). Handbook of psychology: Volume 12 Industrial and Organizational Psychology. Canada.




Komentar

Postingan Populer